Sunday, April 12, 2015

Sejarah awal mula berdirinya Google

Siapa sih yang gak tau Google?. Kalo disurvey, 9 dari 10 orang pasti tau Google itu apa. Siapapun pasti pernah gunain Google. Karena berkat search engine satu ini, kita jadi mudah sekali nemuin jawaban dari segala pertanyaan yang ada dalam benak kita, kita cuma tinggal ngetik keywords yang cocok dengan maksud kita, dan clllliiiiiing, muncullah jawaban atas pertanyaan kita itu. Kalo kalian masih gak percaya dengan kesaktian Google, silahkan ketik keyword : danzvantyo.blogspot.com trus liatin hasilnya (maaf merepotkan). Di kalangan mahasiswa, tentu gak bakalan ada yang menyangkal kesaktian Mbah Google saat harus ngerjain tugas-tugas dari dosen. Tapi mungkin, sebagian besar dari kalian belum tau sekelumit sejarah terciptanya search engine tersakti abad ini.

Larry Page & Sergey Brin duo pendiri Google (interviewsummary.com)
Berdasarkan apa yang pernah gue baca, sejarah awal mula berdirinya Google itu sebenarnya cuman berawal dari “tugas kuliah” berbentuk sebuah proyek riset dari dua orang mahasiswa Universitas Stanford (California), yaitu Larry Page & Sergey Brin. Siapa juga yang nyangka, kalo Google bisa “menjelma” jadi sebuah perusahaan raksasa dunia, tercatat di bulan September 2013, Google punya 70 kantor yang tersebar di 40 negara. Wuiiih.

Ide awal & perkembangan Google
Page saat itu lagi serius banget buat nyari “konsep tema” untuk bahan disertasinya, terbukti dengan pemikirannya tentang eksplorasi properti matematis dari www (World Wide Web), dengan pelajarin struktur tautannya sebagai sebuah grafik yang amat besar. (Jujur, gue beneran gak faham apa maksudnya barusan itu)..hehe. Tapi Page sebenernya punya utang budi sama dosen pembimbingnya saat itu, Mr. Terry Winograd, karna Mr. Terry lah yang ngasihin ide ini ke Page. Wajar aja kalo Page, dalam sebuah interview ngomong kalo ide dari dosen pembimbingnya ini adalah nasehat terbaik yang pernah ia terima, dan jadi titik awal dari sejarah berdirinya Google.

Page ngasih nama proyek risetnya itu dengan nama “BackRub”, trus Page “dipertemukan” dengan Sergey Brin yang dapet sokongan dana dari National Science Foundation Graduate Fellowship. Pas lagi neliti hasil output dari BackRub inilah, Page & Brin sadar kalo search engine dengan basis PageRank bakalan ngasih output yang lebih baik jika dibandingin dengan cara-cara yang udah ada (di jaman itu). Lalu akhirnya nama BackRub diubah jadi Google. Ada yang lucu dari pemberian nama Google itu. Nama Google berawal dari salah eja kata “Googol” yaitu angka satu yang diikuti oleh seratus nol, yang mengartikan bahwa search engine itu bertujuan buat ngasih kuantitas informasi yang gede kepada user.

Perlahan tapi pasti, Google jadi populer di antara user Internet karena desainnya yang simple dan “bersih”, dan tentu aja hasil dari pencariannya begitu relevan. Iklan dijual berdasarkan keyword sehingga mereka jadi lebih relevan bagi para user, dan juga iklan-iklan itu diharusin untuk Cuma make’ teks aja agar desain halamannya tetep rapi & loading untuk buka halaman itu gak pake lemot.

Andy Bechtolsheim, co-founder dari Sun Microsystem adalah orang pertama yang jadi donatur “Google” dengan ngasih duit sebesar US$100.000, sebelum Google jadi sebuah perusahaan di bulan Agustus 1998. Tapi diawal tahun 1999, Brin & Page mutusin buat ngejual search engine yang udah susah payah mereka buat ini, karna menurut mereka proyek Google ini makan terlalu banyak waktu & jadi penghalang mereka buat ngejar gelar akademik. Trus mereka berdua pergi nemuin CEO dari Excite, George Bell, dan nawarin Google dengan harga US$1.000.000, tapi sayangnya ditolak mentah-mentah. Tapi penolakan itu berujung manis, karna pada tanggal 7 Juni 1999, mereka berdua berhasil dapetin dana sebesar US$25.000.000 hasil dari donasi investor-investor gede kaya’ Kleiner Perkins Caufield & Byers & Sequioa Capital.

Salah satu kantor Google
Lima tahun kemudian (19 Agustus 2004) Google mulai nglepasin sahamnya ke publik. Saat itu juga, Page, Brian, dan Eric Schmidt sepakat untuk “mengabdikan diri” bekerja di Google selama 20 tahun hingga tahun 2024. (Sungguh loyalitas yang luar biasa). Google nawarin lebih dari 19.000 saham dengan harga US$85 per sahamnya. Saham-saham ini dijual di sebuah lelang daring dengan sebuah sistem yang dibuatin oleh Morgan Stanley & Credit Suisse. Dan hasilnya pun sangat mencengangkan! Google berhasil meraup total US$1.67 triliun dari hasil penjualan sahamnya. Hal itu memberikan Google market capitalization sebesar US$23 triliun. Google berhasil menjelma menjadi sebuah perusahaan raksasa dunia.
 
Sejarah awal mula berdirinya Google terasa gak lengkap tanpa ada daftar beberapa perusahaan yang berhasil diakusisi Google sejak tahun 2001. Pertama, di tahun 2004, Google mengakuisisi Keyhole Inc., sebuah perusahaan yang lagi ngembangin sebuah produk bernama Earth Viewer. Produk itu mampu ngasih tampilan 3D dari planet bumi. Lalu oleh Google produk ini diganti namanya jadi Google Earth di tahun 2005. Di tahun yang sama tepatnya di bulan April, Google juga ngakuisisi sebuah perusahaan, Urchin Software & bikin produk bernama Google Analytics di tahun 2006, hasil dari pengembangan produk yang bernama “Urchin on Demand”.


Google kembali “menggebrak” dengan membeli situs berbagi video yang sangat populer, Youtube yang dibeli dengan harga US$1.65 triliun yang dibayarkan make’ sahamnya Google. Kerjasama itu diresmiin tanggal 13 November 2006. Pada 13 April 2007, Google terus menginvasi dengan mengakuisisi DoubleClick, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan daring. Kemudian di tahun 2007 Google mendeklarasikan ponsel mereka yang direncanakan sebagai saingan dari iPhone kepunyaan Apple. Ponsel yang lalu diberi sebutan Android ini, menurut sebuah laporan di Juli 2013, menyatakan bahwa Google memiliki share ponsel pintar terbesar di dunia yang dipimpin oleh produk-produk Samsung.

Seolah gak mau berhenti, Google juga membeli GrandCentral yang kemudian diubah namanya jadi Google Voice yaitu sebuah jasa telekomunikasi oleh Google yang dirilis pada tanggal 11 Maret 2009. Lima bulan sejak perilisan GoogleVoice, Google gak lelah buat ngakuisisi, kali ini Google beli sebuah search engine jejaring sosial bernama Advark. Terakhir, di tahun 2010  Google juga ngumumin kalo mereka juga udah ngakuisisi perusahaan baru piranti keras, Agnilux.

Okay, sekian dulu ya info yang bisa gue share lewat artikel gue mengenai sejarah awal mula berdirinya Google, semoga artikel yang gue share ini bisa nambah pengetahuan lo semua tentang Google.

*diolah dari berbagai sumber

Makam Bernisan Tua



Hatiku berdebar. Tak biasanya aku merasa seperti ini. Bulu romaku tegak berdiri, seakan hembusan angin dingin menelikung tepat di belakang leherku. Tiap kali aku melewati pemakaman yang berada persis di depan rumahku, aku tak pernah dihinggapi rasa seperti ini, apalagi rasa takut. Lazimnya yang lain, pemakaman yang seolah sudah menjadi pemandangan wajib bagiku ini, ditumbuhi beberapa pohon bunga kamboja yang tinggi dan rindang. Auranya pun sama seperti pemakaman lain, sepi dan gelap.
Kakiku kuayunkan lebih cepat. Aku melirik jam di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendeknya sudah hampir menunjuk angka tujuh. Sinar matahari sudah lenyap, diganti dengan temaramnya sinar bulan. Aku baru saja berbelok ke halaman rumah ketika kudapati ibuku tengah duduk di kursi rotan yang ada di sudut teras. Ibu terdiam tak bicara, hanya raut wajahnya tertimpa berkas cahaya bolam lampu. Menyiratkan kerutan-kerutan di wajahnya dan rambut yang semburat berwarna putih.

“Assalamua’alaikum Bu. Kok melamun?”
“Wa’alaikumsalam. Eh kamu sudah pulang Nduk.” Ibu seakan terperanjat dari lamunannya ketika menyadari kedatanganku.
“Sana cepat mandi, keburu malam. Kalau mau makan lauknya ada di lemari.”

Ibu lantas berbalik masuk ke dalam rumah, berbelok ke kamar dan kemudian menutupnya. Seakan ingin menghindar dariku. Aku yang baru saja akan berbincang dengannya, hanya bisa termangu. Aku lantas menutup pintu dan jendela nako lalu menarik gorden biru yang sejak dulu menggantung di situ. Entah kenapa aku ingin sekali mengintip makam yang nisannya sudah usang, hampir tak berbentuk, lapuk. Tepat di seberang rumah, satu-satunya makam yang jelas terlihat dari sini. Mungkin sudah lama tak diziarahi keluarganya.
* * *
Seberkas sinar matahari menerobos lewat celah kaca jendela kamarku yang tak tertutupi gorden, menimpa tepat di atas mataku. Mataku menyipit, kupaksa untuk terbuka kendati rasa kantuk masih menggelayut. Aku melangkah keluar kamar, menuju kamar mandi. Segera saja kuguyur sekujur badanku dengan air. Pagi ini aku harus berangkat lebih pagi. ada banyak pekerjaan yang masih belum kuselesaikan kemarin. Tak butuh waktu lama bagiku untuk merapikan diri, karena aku memang bukan tipe perempuan yang suka berhias.

“Kemarin kenapa pulang malam May?” ibu mengawali pembicaraan sembari menuangkan teh ke dalam dua gelas di atas meja makan.
“Kemarin ada banyak kerjaan Bu. Kebetulan orang-orang kantor banyak yang lembur jadi Maya tidak bisa pulang cepat,” jawabku sambil menarik kursi.
 “Kemarin sebelum maghrib ibu lihat ada anak kecil di kuburan depan rumah, duduk di dekat nisan yang tidak terurus itu lho May. Tapi sepertinya ibu belum pernah melihat anak kecil itu. Sudah dua hari ini dia datang terus tiap sore. Anak itu duduk di situ lama sekali. Enggak tahu kenapa, Ibu cuma teringat almarhum bapakmu saja. Sepertinya sudah lama kita tidak ziarah May,” cerita ibu panjang lebar.
“Oh. Ya nanti deh Bu kalau Maya tidak banyak kerjaan, pas libur kita ke Solo,” jawabku sambil mengunyah nasi goreng sembari mengaduk-aduk teh manis yang sebagian butir gulanya masih tertinggal di dasar gelas.
***
Semua yang kualami hari ini di kantor telah membuatku jengah. Aku bosan dengan nasibku. Menjadi babu bagi orang lain. Seandainya aku bisa mengubah kenyataan, aku sungguh tak ingin menjadi seorang office girl. Disuruh kesana-kesini, ini itu, apa pun harus aku lakukan tanpa bisa kubantah. Belum lagi rekan kerja yang tidak koordinatif, maunya enak sendiri. Aku ini memang masih ingusan, tapi bukan berarti aku bisa ditekan dan dihimpit seenaknya. Rasanya kebosananku sudah memuncak.

Jam sudah menunjuk pukul lima. Aku segera beringsut memberesi semua barangku. Yang terlintas di benakku saat ini hanyalah ingin segera tiba di rumah, ingin segera mengguyur badan dan kepalaku yang terasa memanas. Ketika turun dari angkot di ujung gang, seorang anak kecil perempuan berjalan terhuyung di depanku. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat pasi. Kaki-kakinya kecil tak berdaging. Aku yang berada lima meter di belakangnya, hanya terheran penasaran. Setahuku, aku belum pernah melihat anak itu. Ia lalu berbelok ke area pemakaman. Langkahku terhenti. Di senja seperti ini, seorang gadis kecil mendatangi pemakaman? Pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku. Ketika aku sampai di teras, aku tak segera masuk ke rumah. Dengan seksama aku melihat anak kecil itu. Rupanya ia tengah duduk berlutut di dekat makam bernisan usang. Mataku memandanginya lekat. Kulihat ia tersengal-sengal, sepertinya sedang menangis.

Sejak saat itu setiap senja anak kecil itu tak pernah absen datang ke pemakaman. Dan hingga sekarang pun aku tak pernah tahu siapa dan mengapa gadis kecil itu sering berada di sana, di dekat makam yang selama ini tak bertuan. Setidaknya selama dua minggu ini, aku selalu berpapasan dengannya ketika pulang kerja. Dan baju yang dikenakannya pun sepertinya tak pernah ganti. Celana pendek hijau yang lusuh dan kaos biru yang sobek di bahu kiri. Serta sandal jepit yang berbeda warna.
***
Aura wajahku muram. Di kantor aku mengalami kejadian buruk. Kali ini aku dimaki-maki atasanku karena menghidangkan kopi yang terlalu pahit. Bukannya aku tak mensyukuri nikmat Tuhan, tapi kalau hari-hariku seperti ini, bagian mana yang harus aku syukuri? Gajiku pun tak seberapa. Hidup ini terlalu pahit bagiku.

Sore ini aku pulang dengan wajah kuyu. Seperti biasa, setelah turun dari angkot, aku menyambung perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Tidak dekat memang, tapi daripada aku harus mengeluarkan uang lagi lebih baik aku sedikit berlelah-lelah. Ketika aku berbelok di ujung gang, aku terkejut ada kerumunan orang berpakaian hitam di pemakaman depan rumahku. Tidak begitu banyak orang memang, tapi setahuku pemakaman itu sudah penuh. Tak mungkin lagi muat menampung jasad. Mungkin Cuma cukup untuk satu makam lagi.
Aku berjalan pelan. Kepalaku diliputi penasaran. Siapa yang meninggal dan dimakamkan di situ. Sekarang pun sudah senja, kenapa tidak dimakamkan besok saja pikirku. Aku menghampiri seorang ibu yang berpakaian hitam dan berkerudung bordir yang tengah berbincang dengan seorang bapak yang juga berpakaian serba hitam.

“Maaf Bu. Kalau boleh tahu, siapa yang meninggal?” tanyaku.
“Oh. Yang meninggal Alia Mbak. Anak jalanan yang tinggal di dekat rumah saya,” jawab ibu berperawakan gemuk itu.
“Alia? Gadis kecil yang kurus itu ya Bu? Beberapa minggu ini saya sering melihat dia menangis di kuburan ini. Sakit apa dia Bu?” aku bertanya setengah terkejut dan terkenang gadis kecil lusuh itu.
“Dia kena leukimia mbak. Sejak balita sudah terdeteksi. Kasihan sekali anak itu. Sejak lahir tak mengenal orang tuanya. Dia besar di jalanan,” roman muka ibu itu berubah. Sudut matanya berkaca-kaca.
“Maaf Bu. Tapi kenapa dia sering sekali terlihat menangisi kuburan dengan batu nisan yang usang itu ya? Apa Ibu tahu itu siapa?” tanyaku penuh selidik.
“Itu makam ibunya Mbak. Dia juga baru tahu kalau ibunya dimakamkan di sini. Kebetulan bulan lalu Dia bertemu sesorang yang mengaku sebagai saudara ibunya. Sejak saat itu setiap sore dia ke sini mbak, pagi sampai siang dia mengamen di terminal,” terangnya diiringi bulir air mata yang mulai jatuh di pipi.

Aku tertegun. Kasihan. Di pemakaman ini terbaring seorang miskin yang tak punya sanak keluarga. Tak heran bila makam itu tak terurus. Aku mendekat ke makam Alia. Masih basah, dengan taburan kelopak bunga mawar di atasnya. Aku berjongkok. Nisannya tertulis “ALIA lahir: 2000 wafat: 23 Juli 2011”. Tak tertulis tanggal lahir, hanya tahun lahirnya. Aku melihat ke makam bernisan tua dan usang di sebelahnya. Nisan kayu yang sudah lapuk tak berbentuk. Rumput liar tumbuh lebat di sekitarnya. Aku menghela nafas, betapa singkat hidup anak ini. Jika saja kemarin aku bisa mengenalnya, mungkin aku bisa menjadi temannya. Tapi setidaknya kini gadis kecil itu sudah menemukan keluarganya, Ia terbaring tenang di dekat ibunya.

Setidaknya kini aku pun tahu apa yang harus aku syukuri dari hidupku. Aku mengenal kedua orang tuaku. Aku disayangi ibuku. Aku bisa makan kenyang setiap hari. Aku bisa tumbuh sehat dan tak memiliki penyakit apa pun. Dan aku masih bisa hidup sampai detik ini.

Saturday, April 11, 2015

Perpisahan Tom DeLonge dengan Blink 182 Jilid Kedua

Tom dicoret dari Blink 182
Sorry guys, meskipun agak telat, gue rasa gue tetep harus ngepost artikel yang khusus gue dedikasiin buat band idola sepanjang masa gue, Blink 182. Yup, seperti yang udah kita tahu guys, akhir januari kemarin, sejarah pahit perpecahan blink 182 di tahun 2004, kembali terjadi. Pasalnya, band yang berdiri sejak tahun 1992 itu lagi-lagi harus kembali terpecah setelah Mark Hoppus (bass+vocal) dan Travis Barker (drum) kembali berselisih paham dengan sahabat mereka sendiri Tom Delonge (guitar+vocal) akibat ulah Tom yang menolak buat masuk ke studio rekaman.

“Beberapa bulan yang lalu, Travis berencana buat festival musik (Musink Fest) & ngajak blink 182 buat ikutan. Jawabannya tentu aja iya. Nah, saat menjelang akhir tahun 2014, kami (blink 182) juga udah berhasil tanda tangan kontrak kerjasama dengan sebuah label. Meskipun saat itu semua komunikasinya hanya berjalan via email & gak satupun dari kami yang ngobrol bareng Tom, semuanya berjalan begitu positif,” ujar Mark Hoppus seperti yang gue kutip dari situs Rolling Stones, Selasa (27 Januari 2015).

Mark Hoppus, sahabat dekat Tom Delonge
Puncaknya terjadi di hari itu tanggal 30 Desember 2014, kita dapetin email dari manajer Tom yang isinya mengatakan kalo Tom udah gak punya ketertarikan buat bikin album musik & lebih milih fokus pada hal-hal di luar musik. Setelah banyak email yang dikirimkan, manajernya Tom pun ngirimin email lagi yang isi tulisannya sama kaya’ kejadian 2004 silam, “Tom udah out (keluar)”,” imbuh Mark.

Maka gak heran, sejak perseteruan itu mencuat ke publik, Tom dan dua personil Blink 182 lainnya (Mark & Travis) kerap adu statement di media. Dilansir dari NME, Rabu (4/3), menanggapi hal tersebut, Tom sempet curhat isi hatinya secara panjang lebar lewat akun Facebooknya, belum lama ini.

Surat Terbuka dari Tom (Perpisahan untuk Fans)

Selasa (27 Januari 2015) Tom mengunggah surat terbuka buat para fans lewat akun Facebook pribadinya. Di sana, ia curhat segalanya tentang Blink 182. Tom bercerita soal alasan versinya kenapa dia milih “cabut” dari band yang selama ini ia cintai.

Mengutip Stereogum, surat terbuka yang seperti ucapan perpisahan itu dipenuhi dengan rasa kesedihan yang amat mendalam. Sebab Tom selama ini merasa upayanya bertahan di Blink-182 udah "mentok." Ia merasakan pertemuan dan hubungan “awkward” dengan kedua partnernya (Mark & Travis). Pada akhirnya, itulah yang membuat Tom sedih.

Tom jujur banget di awal suratnya. Karna disitu Tom nulis, kejujuran akan selalu dapet tempat yang baik. Ia juga ngaku kalo ia cinta & sayang banget sama Blink 182. Baginya, Blink 182 merupakan anugerah terindah yang pernah kumiliki (kok jadi Sheila on 7??).  
 
Tom Delonge, "nyawa" dari Blink 182
“Blink udah ngasih gue segalanya. SEGALANYA. Gue memulai band ini di garasi rumah gue, ketika gue cuman bisa mimpi tentang semua kenakalan ini.”

Rasa cinta yang dalem itulah yang bikin Tom selama ini selalu “berjuang keras” untuk Blink 182. Tom selalu nyoba meretas banyak jalan sukses buat Blink 182. Ia slalu munculin banyak ide-ide kreatif yang bisa ngembangin band-nya. Tom slalu nantangin diri sendiri & dua orang kawannya (Mark & Travis) untuk bisa jadi band yang lebih baik lagi.

“Gue gak cuman duduk & nungguin seseorang nglakuin hal itu. Gue bukan orang seperti itu,” lanjut Tom dalam tulisannya.

Puncak kesalahpahaman itu terjadi saat Tom ngumpulin semua member band di Utah. Niat awalnya adalah untuk saling sharing & ngluarin semua unek-unek. Tapi sayangnya, hasil dari meeeting itu ternyata amat sangat mengecewakan.

“Apa yang gue harapin bakalan jadi sebuah meeting yang positif untuk bersama, justru malah jadi awkward meeting,” tulis Tom lagi. Tapi Tom gak jelasin apa yang sebenernya dianggep “masalah” itu.

Yang jelas, saat itulah Tom ngomong, “Selama kita masih bicara (saling tegur sapa), dan hubungan pertemanan kita berjalan dengan baik, gue bakalan kerja dengan penuh totalitas. Gue selalu bercermin dari hubungan personal kita. “Kemudian saat itu,  kita harus mengggarap rekaman lagu untuk EP (Dogs Eating Dogs). Sebenarnya itu adalah ujian buat mereka (Mark & Travis).”

Album EP Dogs Eating Dogs
Selama proses pengerjaan album EP (Dogs Eating Dogs), Tom selalu “rajin” nongkrong di dalem studio selama 2 bulan, tapi kedua rekannya malah cuman dateng sekitar 11 hari aja. Disitulah kadang Tom merasa sedih. Tom merasa kalo dirinya diperlakukan gak adil. “Gue sih gak masalah kalo disuruh megang kendali. Tapi bukannya sedari awal kami semua sepakat buat ngasihin 100 persen buat band ini?,” ungkapnya lagi.

Lalu pada akhirnya Tom pun ngrasain sebuah momentum, saat itu semangatnya bener-bener udah luntur. Saat ia beranggepan kalo band-nya itu sebenernya udah gak bisa lagi bertahan. Saat itu juga ia udah gak bisa lagi percaya pada omongan siapapun. Udah selama bertahun-tahun, akhirnya Tom ngrasain itu semua. Saat itulah Tom berusaha jujur kepada rekannya, ia cuman pengen konfirmasi komitmen dari kedua sohibnya, tapi Tom malah didiemin gitu aja. Akhirnya Tom pun milih buat “pergi”.

Itu merupakan puncak dedikasinya buat Blink 182. Apalagi saat Tom harus dengerin kenyataan pahit dari statement kedua sohibnya (Mark & Travis), yang ngomong ke publik kalo Blink 182 bisa tetep jalan meski tanpa Tom. Ia merasa dicederai. Gak ada jalan lain selain cabut dari band yang membesarkan namanya itu.

“Dan pada akhirnya, gue prihatin atas semua yang terjadi. Gue sedih, sedih buat kami, sedih buat kalian (fans) yang udah liat gimana ketidakdewasaan ini terjadi,” ujar Tom. Lalu ia juga nambahin, “Meskipun gue, ngliat perlakuan mereka berdua ke gue udah beda, tapi gue masih tetep peduli sama mereka. Udah kaya’ saudara, kawan lama. Tapi sayang, hubungan kami udah teracuni kemarin.”

 Tapi, sekarang giliran sang drummer, Travis yang angkat bicara mengenai hal ini.
“Gue rasa ini udah kali ketiga dia (Tom) “berhenti” dari band, selama ini gue berusaha nutupin itu semua dari fans. Biarlah ini jadi yang terakhir. Karna bener-bener gak baik untuk fans kami. Dia (Tom) selalu setuju bila diajak tur & recording, tapi saat harus masuk studio rekaman, dia selalu aja banyak alesan,” ujar Travis

“Sekarang gue rasa, udah saatnya gak maksain seseorang buat nglakuin hal yang gak ia suka, dan udah waktunya buat move on.”tambahnya.

Gak cuman itu guys, Travis juga ngomong, kalo sebenernya Tom itu udah gak suka alias gak enjoy lagi dengan aliran musik yang dimainkannya di blink 182. Ini merupakan sebuah fase hidup baginya.
“Gue selalu enjoy mainin, dengerin, segala sesuatu tentang punk rock. Tapi gue rasa bagi Tom, dia udah gak suka lagi sama musik punk & itu hanya jadi fase baginya,” sang drummer mengakhiri.

Blink 182 with Matt Skiba
 Bahkan sampai saat ini, aroma “persaingan” itu makin memanas aja. Jika Blink 182 tetep berusaha ngeksis dengan mencatut nama Matt Skiba (gitaris Alkaline Trio) buat “gantiin” sementara posisi Tom di Blink 182, Tom yang juga baru aja ngrilis album kelima dari side projectnya Angels and Airwaves berjudul The Dream Walker, ini pun balik “Nampar” kedua rekannya di Blink 182 lewat sebuah album solo perdananya, yang bertajuk “To The Stars (Demos, Odds, and Ends)” yang berisikan lagu-lagu “ciptaannya” untuk Blink 182.

Album solo perdana Tom DeLonge
 “Buat para fans, gue sebenernya gak pernah keluar dari band (Blink 182). Bahkan gue saat itu lagi nelfon seseorang buat bicarain next plan dari Blink 182 di New York ketika semua kabar ini datang. Ternyata, semua kabar tersebut datang dari “band”. Kami gila? Ya. Tapi, Oh my God,” ujar Tom di akun Facebooknya.

“Gue punya banyak karya musik yang lagi gue garap dengan serius. Tapi sayangnya sesuatu itu terjadi, jadi gue rasa gue harus ubah planning. Gimanapun juga, gue pikir kalian tetep berhak buat dengerin lagu-lagu terbaru gue itu,” tegas Tom.

Tapi yang menarik dari semua kemelut konflik yang terjadi dalam tubuh Blink 182, meskipun terkesan saling “membalas”, Tom brani mastiin kalo dia gak pernah dendam atas perlakuan Mark kepadanya. Tom bahkan brani ngomong kalo Mark Hoppus bakalan slalu jadi sahabat baiknya.



“Gue gak akan pernah benci sama Mark, dia udah jadi sahabat deket gue selama bertahun-tahun. Gue harap dia bisa bahagia kedepannya,” tulis Tom.

Itulah sekelumit cerita dibalik "perceraian" jilid kedua antara Blink 182 dengan Tom Delonge. Sebenarnya sih gue sangat kecewa dengan keputusan yang mereka buat. Karna sebagai die hard fans, gue merasa hambar gitu aja kalo harus ngliat Blink 182 tanpa Tom begitu juga sebaliknya. Tapi apapun itu, sebagai fans gue juga harus hormati keputusan mereka. Yang jelas gue akan selalu setia menunggu karya-karya terbaru dari mereka.

written by : danzvantyo
*diolah dari berbagai sumber