Wednesday, January 7, 2015

FPAYGML


Pas disamping rumah gue, slalu rame saat sore hari. Bukan rame karena deket pasar, melainkan rame karena banyak anak-anak SD yang sedang mengikuti les. Ya, tetangga gue, Pak Anto, adalah seorang guru SD yang punya “usaha sampingan” membuka bimbel di rumahnya.
Kejadian ini beneran terjadi di depan gue, saat itu waktu menunjukkan pukul 12 malam, tapi gue heran dengan keramaian di samping rumah gue. Karna penasaran gue pun cross check ke TKP. Dan ternyata apa coba? Mereka adalah sekumpulan orang tua yang daftarin anak mereka untuk kelas baru di bimbel itu. Seakan gak ada hari esok, tengah malem gini mereka rela antri?. Kok bisa sampe segitunya daftarin anak buat les? udah kaya antrian zakat fitrah masjid di hari raya, karna takut gak kebagian tempat akhirnya mereka pada berebut giliran. Dan benar saja, keesokan harinya gue liat berita di tivi, ada liputan tentang kejadian semalem.

“Selamat pagi pemirsa, headline news pagi ini, ricuhnya pendaftaran kelas baru di sebuah tempat bimbingan belajar di kota Sragen, Jawa Tengah, dilaporkan bahwa puluhan orang tua calon murid luka-luka karna diserang sekumpulan anak-anak bertopeng yang menamakan diri mereka FPAYGML (Front Pembela Anak Yang Gak Mau Les), dan ternyata setelah para pelaku ditangkap & diperiksa oleh pihak yang berwajib, mereka adalah anak-anak dari para korban itu sendiri”.

Hal lain yang menjadi concern gue adalah, adegan dimana saat gue lihat tatapan nanar anak-anak itu pas dianterin berangkat les oleh bapak ibunya, mereka turun dari mobil atau motor dengan wajah yang sama sekali gak hepi, seakan mereka adalah KPUBL (korban pemaksaan untuk berangkat les).

“Nak, belajar yang rajin ya, kalo udah pulang, telpon Bapak, nanti Bapak jemput, kata si Bapak pada anaknya”.
“Huft pffft, si Tua ini kok bawel banget sih, gak ngerti banget perasaan anaknya, capek bego!, jawab Gue refleks di dalam hati”.

Pasti anak itu juga punya fikiran yang sama kaya’ gue. Seharusnya Kak Seto liatin kejadian ini. Ada yang tau nomer teleponnya KPAI? Pliss hubungi mereka secepatnya, karna gue gak punya pulsa. Gue yakin, di dalam hati anak-anak itu pasti menjerit, udah capek-capek belajar di sekolah dari pagi sampe siang, sepulang sekolah mereka masih harus dipaksa untuk berangkat les. Yang perlu digarisbawahi adalah, mereka masih ANAK SD. Anak-anak umur segitu seharusnya tumbuh berkembang dengan normal, tanpa merenggut “masa kanak-kanak/masa bermain” mereka.
Waktu gue seusia mereka (masih SD) gue gak pernah mau disuruh bokap buat pergi les, dipaksa dengan cara apapun gue tetep gak mau. Karna bagi gue saat itu, hal terpenting dalam hidup gue adalah, bermain bermain & bermain. Gue masih inget bener, sepulang sekolah, gue sama temen-temen jalan kaki menyusuri sungai, lalu nyebur kegirangan, lalu gue tenggelem, gue lupa gue gak bisa berenang. Sehabis mandi di kali, gue mancing, dapet ikan wader yang lumayan banyak, lalu gue bakar tanpa bumbu, dan rasanya pahit.
 Gue gak yakin gue bisa setegar itu seandainya gue jadi mereka, mungkin gue lebih milih resign dari profesi gue sebagai anak SD, lalu gue jadi Bolang di Trans7. Liat noh si bolang? kayaknya hepi banget ya idupnye? Tiap hari kerjaannya cuma maen rame-rame sama temennya kaya gak punya beban idup. Karna anak seumuran mereka, masih belum mikirin utang cicilan motor/mobil/rumah, belum mikirin duit buat kondangan yang seabrek, maaf curhat dikit. Trus kenapa para ortu harus menambah mereka dengan beban idup dengan maksa mereka untuk pergi les? Apa para ortu gak takut anaknya jadi kuper/menjadi terlalu freak dengan belajar?.

“Nak besok kan libur kenaikan kelas, kamu pengen liburan kemana?ke kebun binatang/ke pantai/ke mall?, bokap nanya pada anaknya.
“Gak usah kemana-mana Pah, aku pengen les aja, aku gak mau ninggalin les, aku cinta les, aku juga gak bisa hidup tanpa les, hidup les!, jawab si anak menggebu kaya mahasiswa lagi orasi sambil membakar ban di perempatan. Gak heran, sekitar 20 tahun kemudian, si anak menjadi pendiri PLIP (Partai Les Indonesia Perjuangan).

Ada catatan menarik yang gue kutip dari (http://www.anakku.net/les-tambahan-perlukah.html) berikut ini, “Jika orangtua memaksakan kehendaknya sendiri tanpa melibatkan anak dalam membuat keputusan dan diskusi mengenai les akademik yang perlu diikuti, umumnya akan menyebabkan perasaan yang kurang nyaman pada anak, tidak bahagia, tertekan, marah dan mengarah pada pemberontakan (melawan orangtua)”.
Sebegitu buruknya kah? Disebutkan dalam artikel diatas, dampak dari jika kita memaksa anak kita untuk mengikuti les, mereka akan tumbuh dengan jiwa pemberontak, awalnya sih baru dalam skala kecil, memberontak melawan orangtua, tapi gimana kalo lama-lama mereka melakukan pemberontakan yang massive dengan memberontak melawan negara?mereka mengkudeta pemerintahan lewat FPAYGML (Front Pembela Anak Yang Gak Mau Les) yang di awal tadi gue critain. Gue gak bisa bayangin, gimana negara ini jadinya kalo harus jatuh ke tangan mereka.

“Negara ini telah kami kuasai, bapak presiden yang saya hormati, kalau anda mau rakyat selamat, dalam hitungan waktu 2x24 jam, anda harus hapuskan kegiatan les dari bumi Indonesia, kata si Budi( pimpinan kelompok itu).

Setelah presiden menuruti tuntutan mereka, tak lama kemudian merekapun mendirikan negara baru Republik GPL (Gak Pake Les), dan menunjuk si Budi sebagai presiden, ya benar, dia adalah si Budi, anak yang selama ini kita kenal sebagai sosok anak yang baik dalam buku pelajaran SD, ternyata dia adalah sosok jahat yang menyamar sebagai anak yang berbakti orangtua, tekun belajar, pandai, & gemar menabung. Lalu Budi juga menunjuk kakak perempuannya, Ani, sebagai wakil presidennya. Jadi, presiden & wakil presiden kita yang baru adalah, Budi & Ani, tentu lo udah pada familiar kan?

Budi dan Ani sudah berubah
Tapi usia negara baru Republik Gak Pake Les hanya seumur jagung, karena mereka (para pemberontak FPAYGML) dapat dilumpuhkan oleh perlawanan dari operasi pasukan khusus, yang dipimpin oleh Jendral Tono, masih inget Tono?pimpinan sekaligus pendiri PLIP (Partai Les Indonesia Perjuangan), persis, dia adalah si anak yang tadi gue ceritain, yang dulunya pas masih kecil sangat tergila-gila alias freak dengan kegiatan les. Finally, Tono berhasil mengalahkan Budi & Ani. Setelah operasi penumpasan pemberontakan selesai dilaksanakan, maka Indonesia pun kembali mencabut peraturan tentang pelarangan les. Dan benar saja, Bu Ida, tetangga gue yang lain, seorang guru TK & Paud, kemarin baru aja buka bimbingan belajar les tambahan di sore hari untuk anak-anak balita murid TK & Paud di rumahnya. Sekian.

No comments:

Post a Comment