Hatiku berdebar.
Tak biasanya aku merasa seperti ini. Bulu romaku tegak berdiri, seakan hembusan
angin dingin menelikung tepat di belakang leherku. Tiap kali aku melewati pemakaman
yang berada persis di depan rumahku, aku tak pernah dihinggapi rasa seperti ini,
apalagi rasa takut. Lazimnya yang lain, pemakaman yang seolah sudah menjadi
pemandangan wajib bagiku ini, ditumbuhi beberapa pohon bunga kamboja yang
tinggi dan rindang. Auranya pun sama seperti pemakaman lain, sepi dan gelap.
Kakiku kuayunkan
lebih cepat. Aku melirik jam di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendeknya
sudah hampir menunjuk angka tujuh. Sinar matahari sudah lenyap, diganti dengan
temaramnya sinar bulan. Aku baru saja berbelok ke halaman rumah ketika kudapati
ibuku tengah duduk di kursi rotan yang ada di sudut teras. Ibu terdiam tak
bicara, hanya raut wajahnya tertimpa berkas cahaya bolam lampu. Menyiratkan kerutan-kerutan
di wajahnya dan rambut yang semburat berwarna putih.
“Assalamua’alaikum
Bu. Kok melamun?”
“Wa’alaikumsalam.
Eh kamu sudah pulang Nduk.” Ibu seakan terperanjat dari lamunannya ketika
menyadari kedatanganku.
“Sana
cepat mandi, keburu malam. Kalau mau makan lauknya ada di lemari.”
Ibu lantas
berbalik masuk ke dalam rumah, berbelok ke kamar dan kemudian menutupnya.
Seakan ingin menghindar dariku. Aku yang baru saja akan berbincang dengannya,
hanya bisa termangu. Aku lantas menutup pintu dan jendela nako lalu menarik
gorden biru yang sejak dulu menggantung di situ. Entah kenapa aku ingin sekali
mengintip makam yang nisannya sudah usang, hampir tak berbentuk, lapuk. Tepat
di seberang rumah, satu-satunya makam yang jelas terlihat dari sini. Mungkin
sudah lama tak diziarahi keluarganya.
* * *
Seberkas sinar
matahari menerobos lewat celah kaca jendela kamarku yang tak tertutupi gorden,
menimpa tepat di atas mataku. Mataku menyipit, kupaksa untuk terbuka kendati
rasa kantuk masih menggelayut. Aku melangkah keluar kamar, menuju kamar mandi.
Segera saja kuguyur sekujur badanku dengan air. Pagi ini aku harus berangkat
lebih pagi. ada banyak pekerjaan yang masih belum kuselesaikan kemarin. Tak
butuh waktu lama bagiku untuk merapikan diri, karena aku memang bukan tipe
perempuan yang suka berhias.
“Kemarin
kenapa pulang malam May?” ibu mengawali pembicaraan sembari menuangkan teh ke
dalam dua gelas di atas meja makan.
“Kemarin
ada banyak kerjaan Bu. Kebetulan orang-orang kantor banyak yang lembur jadi
Maya tidak bisa pulang cepat,” jawabku sambil menarik kursi.
“Kemarin sebelum maghrib ibu lihat ada anak
kecil di kuburan depan rumah, duduk di dekat nisan yang tidak terurus itu lho
May. Tapi sepertinya ibu belum pernah melihat anak kecil itu. Sudah dua hari
ini dia datang terus tiap sore. Anak itu duduk di situ lama sekali. Enggak tahu kenapa, Ibu cuma teringat
almarhum bapakmu saja. Sepertinya sudah lama kita tidak ziarah May,” cerita ibu
panjang lebar.
“Oh.
Ya nanti deh Bu kalau Maya tidak banyak kerjaan, pas libur kita ke Solo,”
jawabku sambil mengunyah nasi goreng sembari mengaduk-aduk teh manis yang
sebagian butir gulanya masih tertinggal di dasar gelas.
***
Semua yang
kualami hari ini di kantor telah membuatku jengah. Aku bosan dengan nasibku.
Menjadi babu bagi orang lain. Seandainya aku bisa mengubah kenyataan, aku
sungguh tak ingin menjadi seorang office
girl. Disuruh kesana-kesini, ini itu, apa pun harus aku lakukan tanpa bisa
kubantah. Belum lagi rekan kerja yang tidak koordinatif, maunya enak sendiri.
Aku ini memang masih ingusan, tapi bukan berarti aku bisa ditekan dan dihimpit
seenaknya. Rasanya kebosananku sudah memuncak.
Jam sudah
menunjuk pukul lima. Aku segera beringsut memberesi semua barangku. Yang
terlintas di benakku saat ini hanyalah ingin segera tiba di rumah, ingin segera
mengguyur badan dan kepalaku yang terasa memanas. Ketika turun dari angkot di
ujung gang, seorang anak kecil perempuan berjalan terhuyung di depanku.
Tubuhnya kurus, wajahnya pucat pasi. Kaki-kakinya kecil tak berdaging. Aku yang
berada lima meter di belakangnya, hanya terheran penasaran. Setahuku, aku belum
pernah melihat anak itu. Ia lalu berbelok ke area pemakaman. Langkahku
terhenti. Di senja seperti ini, seorang gadis kecil mendatangi pemakaman?
Pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku. Ketika aku sampai di teras, aku tak
segera masuk ke rumah. Dengan seksama aku melihat anak kecil itu. Rupanya ia
tengah duduk berlutut di dekat makam bernisan usang. Mataku memandanginya
lekat. Kulihat ia tersengal-sengal, sepertinya sedang menangis.
Sejak saat itu
setiap senja anak kecil itu tak pernah absen datang ke pemakaman. Dan hingga
sekarang pun aku tak pernah tahu siapa dan mengapa gadis kecil itu sering
berada di sana, di dekat makam yang selama ini tak bertuan. Setidaknya selama
dua minggu ini, aku selalu berpapasan dengannya ketika pulang kerja. Dan baju
yang dikenakannya pun sepertinya tak pernah ganti. Celana pendek hijau yang
lusuh dan kaos biru yang sobek di bahu kiri. Serta sandal jepit yang berbeda
warna.
***
Aura wajahku
muram. Di kantor aku mengalami kejadian buruk. Kali ini aku dimaki-maki
atasanku karena menghidangkan kopi yang terlalu pahit. Bukannya aku tak
mensyukuri nikmat Tuhan, tapi kalau hari-hariku seperti ini, bagian mana yang
harus aku syukuri? Gajiku pun tak seberapa. Hidup ini terlalu pahit bagiku.
Sore ini aku
pulang dengan wajah kuyu. Seperti biasa, setelah turun dari angkot, aku
menyambung perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Tidak dekat memang, tapi
daripada aku harus mengeluarkan uang lagi lebih baik aku sedikit
berlelah-lelah. Ketika aku berbelok di ujung gang, aku terkejut ada kerumunan
orang berpakaian hitam di pemakaman depan rumahku. Tidak begitu banyak orang
memang, tapi setahuku pemakaman itu sudah penuh. Tak mungkin lagi muat
menampung jasad. Mungkin Cuma cukup untuk satu makam lagi.
Aku berjalan
pelan. Kepalaku diliputi penasaran. Siapa yang meninggal dan dimakamkan di
situ. Sekarang pun sudah senja, kenapa tidak dimakamkan besok saja pikirku. Aku
menghampiri seorang ibu yang berpakaian hitam dan berkerudung bordir yang
tengah berbincang dengan seorang bapak yang juga berpakaian serba hitam.
“Maaf Bu. Kalau
boleh tahu, siapa yang meninggal?” tanyaku.
“Oh.
Yang meninggal Alia Mbak. Anak jalanan yang tinggal di dekat rumah saya,” jawab
ibu berperawakan gemuk itu.
“Alia?
Gadis kecil yang kurus itu ya Bu? Beberapa minggu ini saya sering melihat dia
menangis di kuburan ini. Sakit apa dia Bu?” aku bertanya setengah terkejut dan
terkenang gadis kecil lusuh itu.
“Dia
kena leukimia mbak. Sejak balita sudah terdeteksi. Kasihan sekali anak itu.
Sejak lahir tak mengenal orang tuanya. Dia besar di jalanan,” roman muka ibu
itu berubah. Sudut matanya berkaca-kaca.
“Maaf
Bu. Tapi kenapa dia sering sekali terlihat menangisi kuburan dengan batu nisan
yang usang itu ya? Apa Ibu tahu itu siapa?” tanyaku penuh selidik.
“Itu
makam ibunya Mbak. Dia juga baru tahu kalau ibunya dimakamkan di sini.
Kebetulan bulan lalu Dia bertemu sesorang yang mengaku sebagai saudara ibunya.
Sejak saat itu setiap sore dia ke sini mbak, pagi sampai siang dia mengamen di
terminal,” terangnya diiringi bulir air mata yang mulai jatuh di pipi.
Aku tertegun.
Kasihan. Di pemakaman ini terbaring seorang miskin yang tak punya sanak
keluarga. Tak heran bila makam itu tak terurus. Aku mendekat ke makam Alia.
Masih basah, dengan taburan kelopak bunga mawar di atasnya. Aku berjongkok. Nisannya
tertulis “ALIA lahir: 2000 wafat: 23 Juli 2011”. Tak tertulis tanggal lahir,
hanya tahun lahirnya. Aku melihat ke makam bernisan tua dan usang di
sebelahnya. Nisan kayu yang sudah lapuk tak berbentuk. Rumput liar tumbuh lebat
di sekitarnya. Aku menghela nafas, betapa singkat hidup anak ini. Jika saja
kemarin aku bisa mengenalnya, mungkin aku bisa menjadi temannya. Tapi setidaknya
kini gadis kecil itu sudah menemukan keluarganya, Ia terbaring tenang di dekat
ibunya.
Setidaknya kini
aku pun tahu apa yang harus aku syukuri dari hidupku. Aku mengenal kedua orang
tuaku. Aku disayangi ibuku. Aku bisa makan kenyang setiap hari. Aku bisa tumbuh
sehat dan tak memiliki penyakit apa pun. Dan aku masih bisa hidup sampai detik
ini.